Cacat permanen pada pasien stroke umumnya karena pasien terlambat ditangani, salah pengobatan, atau fisioterapi tidak kontinu.
JANGAN TERLAMBAT: Kecacatan akibat stroke seharusnya bisa dihindari dengan penanganan yang cepat dan tepat. Semakin cepat penanganan, semakin banyak sel-sel otak yang bisa diselamatkan dari kerusakan.
SAAT seseorang terkena stroke, kecacatan menjadi salah satu akibat yang paling ditakuti. Padahal, stroke tidak selalu harus berakhir dengan kecacatan. “Asalkan ditangani dengan cepat dan tepat, risiko kecacatan bisa diminimalkan, “ujar dokter spesialis saraf Bunda Neuro Center (BNC), Nizmah, dalam diskusi kesehatan RSU Bunda, Jakarta kemarin.
Ia menjelaskan stroke terjadi ketika suplai darah menuju sel-sel otak terhambat, baik karena sumbatan pada pembuluh darah otak (stroke iskemik) maupun karena pecahnya pembuluh darah otak yang mengakibatkan perdarahan (stroke hemoragik).
Terhentinya suplai darah itu mengakibatkan sel-sel otak mengalami kematian karena tidak mendapat oksigen dan nutrisi. Sel-sel otak yang mati tidak akan bisa mengendalikan sel-sel saraf yang terhubung, seperti saraf yang mengatur gerak tubuh, gerak mulut saat bicara, dan gerak ekspresi wajah. Alkibatnya, penderita mengalami kecacatan.
Dengan penanganan cepat, lanjut Nizmah, periode terhentinya aliran darah ke sel-sel otak bisa dipersingkat sehingga kerusakan pada sel-sel otak minimal. “Semakin banyak sel otak yang terselamatkan, semakin kecil risiko kecacatan ataupun kematian.”
Pengobatan stroke idealnya dilakukan dalam 3-6 jam sesudah serangan terjadi. Pada stroke iskemik, pengobatan ditujukan untuk menghancurkan sumbatan pada pembuluh darah otak. Adapun pada stroke hemoragik pengobatan dilakukan untuk menyetop perdarahan yang terjadi.
Setelah pengobatan itu dilakukan, pasien akan diberi terapi pemulihan. Tahapannya dimulai sejak pasien dirawat di rumah sakit, yakni melalui fisioterapi dan neurorestorasi (stimulasi saraf pusat).
“Terapi yang diberikan ketika kondisi pasien belum stabil ialah secara pasif, yaitu dengan cara menggerak-gerakkan tangan pasien ke kanan atau ke kiri,” jelasnya.
Pada tahap selanjutnya, pasien akan dilatih mengontrol keseimbangan dan fungsi motoriknya, misalnya berjalan dan merawat diri sendiri. Tahapan berikutnya ialah terapi wicara untuk melatih berbicara, berbahasa, dan mengatasi gangguan menelan.
Fisioterapi dan neurorestorasi akan memberikan hasil yang optimal jika dilakukan sedini mungkin, yakni pada 3 bulan pertama pascastroke dan dilakukan teratur. Bila pasien makin membaik, terapi dapat dilanjutkan secara rawat jalan atau di rumah.
“Keberhasilan terapi pascastroke tergantung pada motivasi pasien dan keluarga. Pasien yang lumpuh selamanya umumnya karena latihan fisioterapi tidak dilanjutkan atau karena terlambat dan salah penanganan sejak awal.”
Setelah puluh, pasien pascsastroke wajib menerapkan gaya hidup sehat dan pemeriksaan rutin untuk mencegah terulangnya serangan. Misalnya dengan mengontrol tekanan darah tinggi (hipertensi), menurunkan kolesterol, berhenti merokok, mengontrol diabetes, menjaga berat badan, dan mengelola stres.
Belum paham
Pada kesempatan sama, dokter spesialis bedah saraf BNC, Ibnu Benhadi, mengungkapkan masyarakat Indonesia pada umunya maish kurang memahami penyakit stroke sebagai penyakit mematikan nomor satu di Indonesia.
“Penyakit stroke di lar negeri itu, kalau sudah ada gejalanya, paling telat 2 sampai 3 jam dibawa ke rumah sakit. Kalau di Indonesia, syukur masih hidup,” katanya.
Ia menguatkan banyak pula masyrakat yang tidak memilih jalur medis, tetapi jalur penobtan alternative pada kasus stroke. Ia menyebutkan ada penyakit yang menyerupai stroke atau sumbatan pemuluh darah sesaat dan bisa kembali normal sebelum 24 jam, yakni transcient ischemic attack (TIA) yang sering kali dianggap stroke.
“Misalnya, gejalanya itu lengan yang satu tidak bisa digerakkan, kemudian dia berobat ke ‘orang pintar’ dan kembali normal, dan berkeyakinan bahwa strokenya sembuh, padahal bukan bukan stroke,” katanya.
Ia menyebutkan gejala stroke yang paling umum ialah sesuai konsep FAST yang merupakan kependekan dari face, arm, speech, time.
“Face atau gejala pada wajah,misalnya mulut miring. Arm, gejalanya salah satu lengan lumpuh, speech maksudnya bicaranya kacau atau pelo. Adapun time , artinya jangan menunda waktu, segera bawa pasien dengan gejala-gejala itu ke rumah sakit,” papar Ibnu.
Ia menambahkan , di masa pemulihan pemberian makan dan minum pada pasien harus dilakukan secara hati-hati karena saraf-saraf yang terganggu belum pulih sempurna.
“Ketika minum harus pelan-pelan, jangan ditegukkan karena sarafnya belum berfungsi untuk mengarahkan minuman itu masuk kekerongkongan menuju lambung atau tenggorokan menuju paru-paru. Kalau masuk paru-paru , bias fatal,” katanya. (8/Ant/H-3)