JAKARTA, KOMPAS – Hipertensi atau tekanan darah tinggi yang tak terkontrol bisa menimbulkan penebalan dan pengerasan dinding pembuluh darah. Hal itu penyebabkan aliran darah kian mengecil sehingga berisiko menimbulkan disfungsi ereksi dan berdampak terhadap penurunan kualitas hidup.
Menurut Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013, prevalensi hipertensi di Indonesia 25,8 persen. Mayoritas warga tak sadar terkena hipertensi. Untuk itu, tekanan darah tinggi perlu dideteksi secara dini sebelum terjadi komplikasi penyakit, termasuk disfungsi ereksi.
Berdasarkan riset FA Giulano dari Departemen Urologi, Rumah Sakit Bicetre, di Perancis pada 2004, dari 3906 (rata-rata berusia 59 tahun) responden pasien hipertensi (tidak diabetes), 67 persen mengalami disfungsi ereksi (DE). Adapun riset oleh B Mittawae dari Departemen Andrologi, Seksologi, dan Penyakit Menular Seksual Universitas Kairo, di Mesir, pada 2006, yang mengevaluasi fungsi seksual, menemukan 43,2 persen dari 800 pasien hipertensi terkena DE.
Dokter spesialis dalam konsultan ginjal hipertensi, Tunggul Situmorang, mengungkapkan hal itu dalam diskusi bertema “Hipertensi sebagai Faktor Risiko Disfungsi Ereksi”, di Jakarta, Rabu (18/5). Acara yang diprakarsai Perhimpunan Hipertensi Indonesia (Inash) itu dalam rangka memperingati Hari Hipertensi Sedunia pada 17 Mei setiap tahun.
Tunggul memaparkan, aliran darah diperlukan untuk mencapai ereksi. Jika aliran tidak mencukupi, kondisi itu akan memicu disfungsi ereksi. “Namun, sebelum arteriosclerosis atau penebalan dan pengerasan dinding pembuluh darah, sudah terjadi kerusakan pada endotel pembuluh darah,” ujarnya.
Faktor pemicu
Mekanisme terjadi disfungsi ereksi, lanjut Tunggul, amat kompleks dan dipengaruhi sejumlah faktor lain, seperti usia, kelebihan berat badan, kadar lemak tinggi dan kebiasaan merokok. Disfungsi ereksi juga dapat menimbulkan tekanan bagi pria dewasa yang mengalaminya dan mengganggu keharonisan hubungan dengan pasangan.
Selain itu, sejumlah golongan obat anti hipertensi (OAH), yakni diuretic dan beta blocker, justru dinilai turut menimbulkaan gangguan fungsi seksual meski hingga kini belum ada bukti saintifik. “Guna menghindarinya, pilih golongan obat anti hipertensi lain, yaitu CE Inhibitor, Calcium Channel Blocker (CCB), dan Aldosterone Receptor Blocker (ARB),” ucap Tunggul.
Sebagai langkah pencegahan, penderita hipertensi dianjurkan mengendalikan tekanan darah dan faktor risiko serta sejumlah penyakit penyerta lain. Pasien juga disarankan memilih obat anti hipertensi yang aman. “Namun, yang paling utama adalah memperbaiki gaya hidup,” katanya.
Ketua Inash Yuda Turana menambahkan, disfungsi ereksi merupakan faktor risiko yang selama ini belum tersentuh atau terabaikan. Karena itu, contoh penanganannya mengadopsi dari sejumlah negara lain. “Pembahasan ini bertujuan agar penderita hipertensi mengontrol tekanan darah agar terhindar dari disfungsi ereksi,” ucapnya.
Selama ini, hipertensi kerap disepelekan jika tidak dikaitkan dengan penyakit-penyakit penyerta, seperti stroke, demensia, gagal ginjal, dan jantung. Karena itu, ada kemungkinan masyarakat lebih waspada dan mengontrol tekanan darah jika diingatkan tentang disfungsi ereksi ketimbang hipertensi itu sendiri.
Selain menerapkan pola hidup sehat, penderita hipertensi diimbau agar mengontrol tekanan darah secara rutin, membatasi konsumsi garam, dan meminum obat-obatan secara teratur sesuai dengan petunjuk dokter. “Olah raga jalan kaki moderat 2 jam 30 menit per minggu bisa mencegah hipertensi kata Yuda.
Sementara itu, konsultan kardiologi dari Pusat Jantung Nasional Rumah Sakit Harapan Kita, Arieska Ann Soenarta, mengatakan, hipertensi merupakan pembunuh diam-diam atau silent killer. “(Gejalanya) susah dirasakan. Rasanya baru timbul ketika sudah akibat, seperti stroke,” ujarnya.
Ann juga menekankan pentingnya deteksi dini hipertensi sejak usia dini atau masa kanak-kanak. Karena itu, anak yang berusia lebih dari 3 tahun seharusnya diperiksa tekanan darahnya secara rutin. (C03)