Usianya masih 39 tahun saat terserang stroke yang melumpuhkan secara total bagian kanan tubuhnya pada tahun 2010. Amiruddin bahkan mengaku sempat berpikir untuk bunuh diri saat dirinya terbaring beberapa hari di rumah sakit tanpa bisa bergerak, tanpa kejelasan masa depan, bahkan pacarnya meninggalkannya.
Namun, dengan kemauan dan tekad untuk terus hidup, Amiruddin, warga Cempaka Baru, Kemayoran, Jakarta Pusat, kini hidup normal seakan belum pernah terkena stroke sama sekali. Amir, demikian dia biasa disapa, bisa sembuh relatif tanpa biaya besar, tanpa teknologi tinggi, bahkan dilakukan sendiri tanpa diketahui orang lain.
"Saya seakan tidak percaya bahwa kaki dan tangan kanan saya ini pernah tidak bisa digerakkan sama sekali," kata Amir riang.
Saat ini, Amir hidup dengan cara yang sehat. Dia rajin berolahraga, tidur teratur, tidak merokok, dan sangat mengurangi makanan berlemak. Amir juga sedang menyiapkan perkawinannya dengan seorang wanita yang diperkenalkan oleh seorang teman. Sisi sedih kisah Amir adalah pacarnya yang dulu meninggalkannya saat terserang stroke justru sudah meninggal terlebih dahulu.
Khas manusia kota besar
Melihat masa lalunya, Amir adalah potret khas manusia kota besar zaman sekarang yang hidup seenaknya. Dia suka begadang menemani bosnya yang dipanggil Amir sebagai "Bapak".
Sehari-hari Amir merokok sampai tiga bungkus rokok keretek. Sementara makanan kesukaannya adalah goreng-gorengan selain tongseng kambing beberapa kali dalam seminggu. Hampir tidak pernah berolahraga, selalu tidur larut malam menyaksikan aneka DVD koleksinya, lengkap sudah gaya hidup tidak sehatnya.
Tekanan darah Amir selalu tinggi, terbukti dalam setiap tes yang iseng-iseng dilakukannya di mal dengan membayar Rp 20.000. Tingginya tekanan darah Amir ini memang dari faktor keturunan karena menurut pengakuannya, kedua orangtuanya mempunyai tekanan darah tinggi.
Suatu hari tahun 2010, saat mengantarkan Bapak meliput ke kawasan Puncak, Jawa Barat, tiba-tiba Amir merasakan keanehan di badan. Kaki kanan dan tangan kanannya terasa dingin. Mendadak dia meminta Bapak menggantikan mengemudikan mobil. Saat kendaraan menjelang memasuki jalan tol Ciawi-Jakarta itulah Amir terserang stroke. Dia mengeluh panjang sehingga Bapak dengan panik berusaha memacu kendaraan mencari rumah sakit terdekat.
Bapak yang punya pengalaman melakukan salah penanganan pada rekannya yang terkena stroke sehingga rekannya itu mengalami pecah pembuluh darah di kepala khawatir akan melakukan kesalahan yang sama. Amir pun dibaringkan di mobil. Namun, malang tak bisa dicegah, untung tak bisa diraih. Saat itu jalan tol macet total. Perjalanan ke rumah sakit terdekat akhirnya hanya bisa membawa Amir ke sebuah praktik dokter.
Dari rumah dokter itu, datang sepupu Amir yang lalu membawanya ke sebuah rumah sakit di Kemayoran, beberapa jam kemudian.
Amir dalam dilema. Dia merasa putus asa. Dia tahu bahwa biaya perawatan sangat mahal, sementara dia tidak punya tabungan, juga bosnya bukanlah orang yang berkelebihan uang. Pacar Amir yang tidak kunjung menjenguk menambah kegundahannya. Belakangan, dari seorang teman yang menjenguk. Amir baru tahu bahwa pacarnya itu meninggalkannya karena merasa tidak punya masa depan dengan pria yang sudah terkena stroke sampai lumpuh separuh badan.
Tiap malam, selama di rumah sakit, Amir merasakan dia sudah tak punya harapan untuk menatap masa depan. "Keluar dari rumah sakit pun sudah bagus kalau tanpa utang. Setelah itu saya kerja apa? Tetap menjadi sopir? Mana bisa?" papar Amir, pekan lalu, saat diminta bercerita tentang cara kesembuhannya yang cukup mengherankan.
"Di titik-titik tertentu, saya ingin bunuh diri. Untunglah sarana untuk bunuh diri, yaitu pisau, atau tali untuk gantung diri, atau racun, tidak bisa saya dapatkan waktu itu," kata Amir pedih.
Setelah dirawat sekitar seminggu di rumah sakit atas permintaan sendiri, Amir keluar dari rumah sakit. Adik kandungnya yang tinggal di Bekasi mengajaknya pindah ke pinggir Jakarta itu karena di Cempaka Baru, Amir hanya tinggal dengan bibinya yang juga sudah tua.
"Walau adik Amir juga bekerja bersama suaminya kalau siang, setidaknya di Bekasi saya tidak merepotkan bibi yang sudah tua di Cempaka Baru," kata Amir.
Bangkit
Di titik ini, tiba-tiba semangat Amir timbul. Keinginan untuk tidak terus menjadi tanggungan sang adik membuat Amir bertekad sembuh.
"Saya harus sembuh, saya harus sembuh, saya harus sembuh, begitu kata yang saya ulang-ulang terus untuk menyemangati diri. Kemampuan saya hanya menjadi pengemudi, maka tangan dan kaki saya harus pulih," papar Amir.
Seminggu sekali dia mendatangi seorang tukang pijit di Bekasi untuk mengurut kaki dan tangannya yang tidak bisa digerakkan. Setiap hari Amir menyugesti diri bahwa tangan kanan dan kaki kanannya sudah bisa bergerak.
"Tiap bangun tidur, saya selalu berusaha bergerak seakan saya masih normal seperti beberapa bulan sebelumnya. Saya selalu menyugesti badan saya bahwa semuanya normal," kata Amir.
Kira-kira delapan bulan setelah terkena stroke, kaki kanan dan tangan kanan Amir mulai bisa digerakkan. Dia mulai bisa berjalan walau tertatih-tatih.
Dengan tekad baru untuk bisa hidup normal kembali, Amir lalu meninggalkan Bekasi dan kembali ke rumahnya di Cempaka Baru. Dia mulai hidup normalnya seperti dulu, yaitu pagi mencuci mobil si Bapak yang memang tidak mencari pengemudi baru.
Karena belum berani mengemudi akibat kaki kanannya yang belum bisa menginjak pedal gas dengan baik. Amir hanya diperbolehkan ikut pergi kemana pun bersama Bapak. Bedanya, Amir duduk di kursi penumpang.
Saat mobil sedang parkir, Amir diam-diam mencoba memaju-mundurkan mobil. " Cukup sulit karena yang invalid adalah kaki kanan saya sementara kemudi utama mobil adalah pedal gas yang ada di kaki kanan pula," papar Amir.
Waktu tidak terasa berlalu, sampai suatu hari pada tahun 2011, si Bapak menantangnya: "Berani mengemudi?" Amir, mengiyakan. Dan, saat itulah sebenarnya Amir sudah "normal" kembali.
Saat pertama kali mengemudikan mobil setelah istirahat lama akibat stroke, Amir memang merasa gamang. Tetapi, kemauannya untuk melawan stroke mengalahkan semua kegamangannya.
Kini Amir sudah pulih total. Dia juga manusia sehat yang rajin makan sayuran, rajin bersepeda, dan sudah menjauhi rokok secara total. "Rokok membuat pembuluh darah kurang elastis. Kalau dulu saya bukan perokok berat, mungkin saya belum kena serangan stroke," kata Amir menirukan kata-kata dokter yang pernah merawatnya.
Pesan Amir kepada siapa pun yang pernah terserang stroke: "Jangan putus asa. Tekad bisa mengatasi banyak hal. Saya setidaknya salah satu bukti untuk itu." (ARBAIN RAMBEY)