Meski usianya tak lagi muda, Karny Otaya (63) sangat aktif
di berbagai kegiatan. Serangan stroke yang datang memaksanya hanya bisa
terbaring di tempat tidur. Semangat dan rutin bernyanyi akhirnya membuatnya
kembali pulih.
Sehari-hari, aku mengajar di beberapa sekolah di Bandung. Di
sela-sela pekerjaanku, terutama di akhir pekan, aku sering diminta menjadi
Master of Ceremony (MC) untuk acara pernikahan. Biasanya, seminggu sekali aku
jadi MC bahkan sampai ke luar kota. Kebetulan, ada beberapa perias pengantin yang
sering mengajakku jadi MC ketika mereka mendapat job. Aku juga diminta tampil
bernyanyi sambil memainkan kibor, mulai dari acara ulang tahun, arisan, sampai
pergantian tahun di malam tahun baru.
Belum lagi, aku aktif bernyanyi di beberapa komunitas, termasuk
komunitas Music Lovers (Mulo) yang didirikan Ari, mantan muridku di SMP tempatku
mengajar dulu. Bahkan, 4-5 kali aku pernah ikut bermain sinetron yang
ditayangkan TVRI Bandung.
Hari-hariku selalu ceria. Seolah tak ada lelah. Juga, tak
pernah habis bahan obrolan karena aku memang cerewet. Pendek kata, hidupku sangat
berwarna dan aku aktif ke mana-mana.
Suamiku dipanggil Tuhan lebih dulu, tahun 2009. Waktu itu
aku sedang mengemsi untuk acara pernikahan
di Taman Mini Indonesia Indah. Tapi aku berhasil bangkit dan tak larut dalam kesedihan ditinggal suami
tercinta.
Belajar Berjalan
Tapi, itu dulu, sebelum aku terkena serangan stroke Desember
2011 silam. Aku masih ingat betul, peristiwa itu terjadi sehari sebelum jadwal
keberangkatanku ke Gorontalo, Sulawesi, untuk menjadi MC di sebuah pernikahan
di sana. Tiket pesawat sudah di tangan.
Namun, pada hari itu, pagi-pagi ketika hendak mencuci
kerudung di kamar mandi, mendadak kepalaku sangat pusing. Aku keluar dari kamar
mandi dan duduk di kursi. Segera kubangunkan anak-anakku dan mereka pun langsung membawaku ke RS Borromeus
dengan mobil tua kami.
Hasilnya sungguh mengejutkan. Tekanan darahku yang rendah dan biasanya di angka 100,
saat itu melonjak jadi 175. Menurut dokter, kemungkinan penyebabnya karena
terlalu gembira. Memang benar, aku sangat gembira. Memang benar, aku sangat
gembira karena besoknya aku akan terbang ke Gorontalo, kampung halamanku.
Terbayang sudah di benakku, betapa bahagianya bertemu saudara-saudaraku tercinta.
Rupanya inilah yang menyebabkan tekanan darahku melonjak drastis. Kata dokter
lagi, tensi tinggi tak masalah bagi yang memang punya riwayat tekanan darah
tinggi karena sudah terbiasa tinggi. Yang berbahaya justru seperti yang kualami.
Apa lagi, aku juga punya riwayat kolesterol tinggi.
Beberapa saat setelah masuk rumah sakit, aku langsung tak
bisa berjalan dan bicara. Tetangga, saudara, dan teman-temanku bergantian
datang menjenguk kondisiku yang memprihatinkan. Sebagian menduga aku tak bisa selamat.
Bahkan, ada yang mengabarkan pada saudara-saudaraku di Gorontalo bahwa aku telah
meninggal, sehingga mereka menangis. Mungkin sakit ini adalah teguran Tuhan buatku.
Jadi kuterima saja dengan iklas.
Terapi Biji Merica
Alhamdulillah, setelah 10 hari dirawat di rumah sakit, aku diizinkan
pulang meski masih belum bisa berjalan dan bicara. Di rumah, aku dirawat anak sulungku,
Irliani Sarwono, satu-satunya anak perempuanku. Ketiga adiknya laki-laki.
Kebetulan ia belum bekerja waktu itu. Salah seorang tetangga menyarankan agar
aku diterapi dengan merica. Terapis dari
Majalengka yang ia sarankan kemudian dipanggil ke rumah. Meski merica yang ia
gunakan hanya sebutir, tapi sakitnya luar biasa ketika ditekankan ke jari-jari
kakiku.
Terapi itu berlangsung selama satu jam. Seminggu kemudian,
terapi itu diulang, lalu sekali lagi pada minggu berikutnya. Si terapis memang
mengatakan ia hanya akan memberi terapi tiga kali. Katanya, kalau tiga kali itu
berhasil, insya Allah aku bisa sembuh. Ia juga memintaku yakin bahwa aku bisa
sembuh. Setelah terapi itu, tak ada lagi terapi ini-itu yang kulakukan, meski banyak
yang menyarankan. Aku hanya mengandalkan obat dokter dan rutin kontrol.
Sehari-hari, semua aktivitas kulakukan di tempat tidur, termasuk
salat, makan, sampai buang air. Selama dua tahun kondisiku seperti itu. Namun,
tak sedikit pun terbersit putus asa dalam benakku. Aku yakin, Tuhan yang memberikan
penyakit ini dan Dia pula yang akan menyembuhkannya. Aku yakin, penyakit ini pasti
ada obatnya dan aku selalu berdoa.
Namun, di tempat tidur terus-terusan lama-lama bosan juga.
Alhamdulillah, setelah sekian lama terbaring di tempat tidur, aku mulai bisa bangun. Aku
mulai bisa keliling di dalam rumah dengan kursi roda. Namun, kupikir, kalau di
kursi roda terus, kapan aku akan sembuh?
Akhirnya, setelah enam
bulan berada di kursi roda, kuputuskan belajar berjalan. Dengan dituntun anakku,
aku mulai belajar berjalan di dalam rumah. Kupaksakan kakiku melangkah, meski
kemudian jatuh. Tak kapok, aku kembali bangun dan berjalan. Aku jatuh lagi. Begitu
terus yang terjadi.
Suara Terbata
Semangatku sangat besar untuk sembuh, makanya aku tak mau
menyerah. Orang bilang, kalau sudah kena stroke sebaiknya jangan sampai jatuh
tapi aku tak peduli. Aku yakin bisa sembuh dan ingin bisa berjalan lagi.
Ketika kontrol ke dokter, ia menyarankan agar aku rutin bernyanyi
dan tak usah menjalani terapi macam-macam. Ia tahu bahwa sebelumnya aku aktif bernyanyi.
Maka, setelah bisa bangun dari tempat tidur dan mulai bisa sedikit berjalan, kuminta
anakku mengantar ke Mulo untuk bernyanyi lagi. Setelah dua tahun, akhirnya aku
keluar rumah juga.
Anak-anakku ikut menemani. Saat itu, aku tak lagi memakai
kursi roda. Melihat kedatanganku, teman-teman di Mulo sangat gembira menyambut.
Seraya dipegangi anakku, aku maju kedepan bernyanyi dengan iringan musik. Sebetulnya
suaraku tidak keluar, yang terdengar hanya suara tak jelas yang hanya
sepatah-patah dan terbata-bata. Jelek. Tidak puguh, kalau kata orang Sunda.
Mungkin, orang lain akan merasa malu kalau menjadi aku saat itu. Tapi aku tidak
peduli.
Toh, aku tidak melakukan perbuatan yang tidak-tidak. Ini
kulakukan demi ingin sembuh. Jadi, aku percaya diri saja. Mungkin karena terbiasa
menghadapi orang banyak saat menjadi MC, ya. Lagi pula, toh teman-temanku juga
tahu aku sedang sakit dan bernyanyi merupakan terapiku. Toh, itu bukan lomba.
Teman-temanku dengan penuh perhatian mendengarkanku bernyanyi dan bertepuk
tangan setelahnya. Tak satupun yang mengejek. Mereka sangat mendukungku.
Aku tak tahu, ternyata mereka menangis di belakangku. Mereka
tahu seperti apa aku kala bernyanyi sebelum terserang stroke, jadi mereka
sangat sedih melihatku saat itu. Anak-anaku pun sedih karena aku belum bisa bernyanyi. Kukatakan,
biar saja dan aku akan terus bernyanyi
sampai bisa. Sejak itu, setiap hari aku datang ke Mulo untuk bernyanyi,
kecuali Minggu karena Mulo libur. Lagi-lagi suara tak jelas itu yang keluar
dari mulutku, dan lagi-lagi teman-temanku memberiku semangat sepenuh hati mereka.
Suasana kekeluargaan seperti inilah yang memang membuatku
sangat menyukai Mulo. Tak ada perbedaan. Mereka seperti kakak dan adikku
sendiri. Bernyanyi kemudian menjadi terapiku. Di rumah, setiap hari aku juga
latihan bernyanyi sambil main kibor. Ini sekaligus terapi agar jari-jari
tanganku tidak kaku lagi. Pada tetangga-tetanggaku, aku meminta maaf kalau
suara kiborku mengganggu. Kujelaskan pada mereka bahwa itu adalah terapiku. Untung
mereka bisa mengerti.
Tak Lagi Ditemani
Selain bernyanyi, berolahraga dan minum air putih setiap
pagi juga menjadi terapiku. Semasa sehat dulu, pola hidupku memang tidak bagus.
Aku sering lupa makan, terutama saat jadi MC. Meski aku sangat menikmati ketika
melakukannya, sebelumnya aku juga harus memikirkan bagaimana agar acara orang
lain bisa berjalan lancar. Aku juga tak pernah sarapan. Segelas besar kopi
menjadi pengganti sarapanku tiap pagi. Sejak sakit, kuharuskan makan tiga kali.
Makan gorengan dan minuman kopi yang dulu jadi kegemaran tak
kusentuh lagi. Pendeknya, semua saran dokter kuikuti. Ada memang yang bertanya,
kenapa aku menghambur-hamburkan uang untuk bernyanyi, karena memang membayar.
Kujawab saja, aku memang bukan orang yang punya, tapi lebih baik uangnya
kugunakan untuk bernyanyi karena itu anjuran dokter, daripada mencoba terapi ke
sana-sini dan belum tentu ada hasilnya. jadi, untuk menyanyi sengaja kusisihkan
uang.
Setelah enam bulan bernyanyi setiap hari, hasilnya mulai kurasa.
Aku mulai lancar bernyanyi dan bicara, meski masih agak kaku. Aku terus
bernyanyi setiap hari sampai akhirnya aku kembali lancar berbicara dan
berjalan. Mungkin butuh waktu satu tahun sejak pertama kali aku bernyanyi lagi.
Sepertinya, Tuhan memang sudah mengatur semuanya. Tepat
setelah aku bisa berjalan, Irliani yang selama ini,merawatku, mendapat
panggilan pekerjaan di Balikpapan. Dan, setelah bisa berjalan lancar seperti dulu,
aku pun berangkat ke Mulo sendiri naik angkutan kota. Tanpa ditemani.
Tetangga-tetangga, bahkan dokterku sampai heran bagaimana aku
bisa sembuh. Aku percaya, semua mukjizat ini karena Allah. Sekarang, tiga bulan
sekali aku masih kontrol. Meski menurutku masih sedikit kaku dan bicaraku pelo,
menurut teman-temanku tidak. Aku percaya, dengan berjalannya waktu aku bisa sembuh.
Doaku memang satu, aku bisa sembuh seperti belum sakit. Setiap hari, aku masih tetap
berlatih nyanyi di rumah dan Mulo. Kalau
awal terapi dulu aku hanya bisa bernyanyi 3-4 lagu, sekarang bisa 12 lagu.
Sejak sakit pula, semua kegiatan aku stop, kecuali bernyanyi.
Anak-anakku melarangku mengemsi lagi. Namun, mereka mendukungku untuk terus bernyanyi.
Kalau aku absen. Anakku bertanya apakah aku tak punya uang? Lalu mengirim unng.
Ya, kini aku memang hidup dari uang pensiun dan kiriman anak-anakku. Tiga dari mereka
tinggal di luar kota, satu lagi sekota denganku.
Terkadang, kuajak anak, menantu, dan cucuku ikut bernyanyi di Mulo.
Kini, kalau ada tetangga yang terkena stroke, aku selalu menyemangatinya dan mengajaknya terapi bernyanyi di Mulo.@HASUNA DAYLAILATU