Tiap Rabu, anggota Klub Stroke Karmel (KSK) berkumpul di Sentra Stroke dan Revitalisasi Karmel, Jakarta Barat. Pagi-pagi, mereka sudah senam bersama, disusul kegiatan lain. KSK hanyalah salah satu klub stroke di Jakarta. Masih ada yang lain, semisal Klub Stroke RSCM, Klub Stroke RSPP, Klub Stroke RS Fatmawati, Klub Stroke RSPAD Gatot Subroto, dan sebagainya. “Sebetulnya perkumpulan ini merupakan perpanjangan dari program pelatihan dasar rehabilitasi untuk penderita stroke,” jelas Pimpinan Sentra Stroke dan Revitalisasi Karmel, Dr Hermawan Suryadi, SpS.
Tujuannya, agar pasien stroke tak hanya duduk diam merenungkan nasib. Mereka harus aktif, menghilangkan kesedihan, depresi, dan kembali bermasyarakat.
Dengan berbagai latihan, lanjut Hermawan, fungsi-fungsi yang terganggu akibat stroke, seperti kelumpuhan, gangguan bicara, gangguan memori, dan sebagainya, bisa lebih cepat pulih. “Kalau tidak, makin lama mereka akan makin pikun. Pencegahannya, ya, dengan sebanyak mungkin beraktivitas. Dengan makin banyak berkomunikasi, berlatih, diharapkan semua fungsi bisa cepat dihidupkan kembali.”
Berbagai macam terapi serta kegiatan dilakukan. Termasuk yang bersifat hobi seperti main golf dan menyanyi. “Yang suka nyanyi, diterapi dengan karaoke. Yang hobi golf, belajar memukul bola lagi. Lewat karaoke, ternyata banyak keluhan yang cepat hilang,” lanjut Hermawan yang juga Pengurus Pusat Yayasan Stroke Indonesia.
Ada pula terapi mengemudi dengan simulator alias berlatih menyetir kembali pakai komputer. “Kalau lulus, baru boleh nyetir lagi. “Ada juga terapi harmonika, terapi angklung, senam stroke, dan sebagainya. “Terapi harmonika, pasien dilatih menggerakkan tangan sambil meniup harmonika. Napas jadi kuat, fungsi tangan aktif, bicaranya jadi bagus.”
Yang tak kalah penting, semangat penderita dimotivasi sehingga menjadi lebih segar dan ceria. “Ini akan sangat membantu proses penyembuhan.” Para anggota juga punya kegiatan luar ruang semisal arisan, wisata, hingga kontes lukis. Yang lebih hebat, “Sedang direncanakan Stroke Idol. Siapa tahu mereka ada yang punya background penyanyi, kan?”
BELASAN KALI SERANGAN
Sudah 6 tahun ini, KSK berdiri. “Anggotanya sekitar 20 orang,” kata Winarto, sang ketua. Saat rutin berkumpul, anggota klub stroke lain juga ikut bergabung. “ begitu juga sebaliknya, kami sering ikut kegiatan klub lain. “Winarto sendiri bergabung sejak 2004. “Hanya beberapa bulan setelah kena stroke gara-gara darah mengental dan terjadi penyempitan pembuluh darah,” Kisahnya.
Saat itu, tuturnya, kaki dan tangan kanannya tak bisa digerakkan. Sebelumnya, memang sudah ada tanda-tanda serangan, namun tak begitu ia perhatikan. “Waktu itu penglihatan saya mendadak buram. Saya pikir, karena kacamata yang sudah harus diganti. “ Sampai akhirnya ia tak bisa bangun, tapi sadar. “Ngomong jadi pelo. Dua minggu dirawat di RS, pulang dalam kondisi belum bisa berjalan. Selama empat bulan saya harus pakai kursi roda.”
Lelah berobat, bahkan sampai pengobatan tradisional, “Saya datang ke Sentra Stroke Karmel. Pertama kali datang dan ikut terapi, masih belum bisa jalan. Tapi sekarang kondisi saya jauh lebih baik, bisa beraktivitas seperti biasa.”
Pengalaman serupa juga dimiliki Awie (58). Padahal, seperti dikatakan istrinya, Christine (48), suaminya terlambat mendapat pertolongan tepat saat terkena stroke April 2003 silam. “Ia punya hipertensi dan infeksi tubuh yang berkepanjangan. Golden period 3 hari setelah serangan, berlalu begitu saja. Ia memang tidak mau ke rumah sakit dan hanya berdiam di rumah selama 5 hari,” lanjut Christine.
Ketika teman-temannya datang barulah Awie mau dibawa ke RS. Christine mengaku recovery Awie memang cukup lambat. “Selain golden periodnya lewat, mungkin ada pembuluh darah yang lepas dan menyumbat saraf motorik. Dokter bilang, cacat permanen karena telat. Setelah saya bawa ke sini, ternyata ia bisa kembali berjalan, melakukan aktivitas sendiri seperti mandi dan buang air besar. Jadi, cukup bagus,” tutur ibu tiga anak ini.
Anggota lain, Berry Tanukusuma (67), bisa dikatakan sangat “akrab” dengan stroke. “Sudah 11 kali saya kena serangan. Yang pertama, waktu umur 46 tahun. Waktu itu saya sedang di kantor. Oleh teman-teman, saya dilarikan ke RS di Jakarta Selatan tapi sayangnya tak mendapat penanganan memadai karena dokter ahli sarafnya sedang berada di luar negeri. “Tiga hari ia tak sadarkan diri. Saat siuman, tubuh sebelah kiri tak lagi bisa digerakkan. Duduk tegak di tempat tidur saja, enggak mampu. Tapi penderitaan terberat adalah saya tak mampu bicara,” kenangnya.
Dari situ, ia baru tahu telah terkena stroke. Padahal, kalau saja segera ditangani, kecacatan yang dialami tidak separah itu. “Pada pasien stroke, ada masa yang disebut golden period yang lamanya tiga jam sesudah serangan. Inilah masa di mana pasien bisa diselamatkan dari kecacatan yang parah. Nah, pada saya, golden period itu terlewat sia-sia karena tiga hari saya tidak tertangani dengan semestinya,” ujar Berry yang selama 4 bulan menjalani perawatan di rumah sakit. Setiap hari ia latihan fisioterapi untuk organ-organ tubuhnya yang tidak bisa digerakkan.
Selain serangan pertama, “Serangan ke-3 dan ke-11 merupakan serangan stroke terberat. Yang ketiga dipicu rasa sedih dan stres karena menghadapi putri saya yang terancam kebutaan,” cerita Berry yang tahun 1987 bergabung dengan Klub Stroke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. “Waktu itu klub stroke baru ada di sana,” jelasnya. Dari sana, ia bergabung dengan klub stroke RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. “Penderita stroke umumnya sulit diatur, mudah tersinggung, sulit dimengerti dan diduga apa maunya. Mungkin karena mereka merasa tidak berharga lagi. Nah, dengan bergabung di klub stroke, insan pasca stroke bisa kembali memperoleh harga diri, semangat dan keberanian mereka,” terang Berry yang kini sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Termasuk mengendarai mobil sendiri. HASTO PRIANGGORO