Gangguan tidur masih menjadi komponen yang terlupakan. Padahal, gangguan tidur sama bahayanya dengan kolesterol tinggi.
PEMAHAMAN bahwa kadar kolesterol tinggi berbahaya bagi kesehatan umumnya sudah diketahui masyarakat. Banyak orang yang berusaha menjaga asupan makanan mereka untuk mengontrol kadar kolesterol mereka.
Lain halnya dengan gejala tidur mengorok. Saat seseorang diberi tahu bahwa tidurnya mengorok, ia mungkin tidak akan menghiraukannya. Mereka berpikir tidur mengorok tidak lebih daripada sekedar kebiasaan yang mengganggu teman tidur saja.
Padahal, mengorok merupakan gejala gangguan tidur. Kualitas tidur yang buruk terbukti turut menyebabkan penyakit jantung dan pembuluh darah.
"Belum banyak yang menyadari hal ini. Gangguan tidur masih menjadi komponen yang terlupakan. Padahal, gangguan tidur sama bahayanya dengan kolesterol tinggi." ujar Direktur Utama RS Jantung Harapan Kita, Jakarta, dr Hananto Andriantoro, SpJP, saat membuka diskusi tentang gangguan tidur di RS tersebut, beberapa waktu lalu.
Senada, dr Bambang Budi Siswanto SpPJ juga mengungkapkan eratnya hubungan antara OSA dan penyakit-penyakit jantung dan pembuluh darah.
"Berbagai penelitian membuktikan OSA menyebabkan hipertensi, gangguan irama jantung yang menjadi faktor risiko stroke, gagal jantung, dan jantung koroner," ujarnya.
Mengorok, lanjut Bambang, merupakan gejala tersumbatnya saluran pernapasan bagian atas. Dunia medis menyebut gangguan itu sebagai obstructive sleep apnea (OSA). Menurutnya, saat penderita OSA tidur, ada periode jalan napas tertutup sebagian atau sepenuhnya oleh jaringan lunak di sekitar pangkal tenggorok.
Saat jalan napas tertutup, tubuh kekurangan pasokan oksigen. Hal itu terjadi selama beberapa saat hingga mendorong penderita secara refleks 'bangun' sesaat guna mengambil napas lalu tidur kembali. Kejadian itu terus berulang sepanjang tidur meski sering kali penderita tidak menyadarinya.
"Pada periode 'bangun' mungkin penderita tetap tertidur tapi aktivitas gelombang otaknya menunjukkan pola gelombang orang yang sedang terbangun," jelas Bambang.
Periode henti napas yang disusul 'bangun' tiba-tiba itu terjadi berulang sepanjang tidur. Dalam jangka panjang, hal itu berdampak pada rusaknya lapisan endotel ada dinding pembuluh darah. Akibatnya, terjadi penyakit-penyakit yang berkaitan dengan pembuluh darah.
"Diketahui, saat penderita OSA 'terbangun' tiba-tiba untuk mengambil napas denyut jantungnya meningkat, tekanan darahnya juga meningkat. Kejadian yang berulang-ulang itulah yang berdampak buruk."
Berdasar pengalaman, Bambang kerap menjumpai pasien hipertensi menahun yang tidak mempan diterapi dengan sejumlah obat-obatan. Dari hasil pemeriksaan, diketahui mereka menderita OSA. "Setelah OSA-nya diterapi, barulah tensinya bisa turun," jelas Bambang.
Tidak hanya menyebabkan penyakit yang terkait dengan pembuluh darah, OSA juga menyebabkan penyakit diabetes melitus. "Pasalnya, berulangnya kejadian tidur, lalu henti napas, dan diikuti terbangun tiba-tiba tersebut merusak sistem hormon termasuk hormon insulin," imbuh Bambang.
Tidak terdeteksi
Dokter Rimawati Tedjasukmana SpS dari Indonesia Sleep Society menyatakan faktor-faktor penyebab OSA yang paling sering ialah kegemukan. Penyebab lainnya, kelainan bentuk wajah, misalnya rahang sempit, dan pembesaran amandel (pada anak-anak).
Prevalensi OSA pada orang dewasa sekitar 2% - 4%. Namun, angka kejadian OSA derajat sedang hingga berat yang tidak terdiagnosis mencapai 82% pada laki-laki dan 93% pada wanita.
"Itu lantaran gejala OSA terjadi ketika penderita tidur. Mungkin teman tidurnya melihat penderita mengorok lalu tersengal mengambil napas, tapi ia tidak menyadari bahwa itu gejala OSA," jelas Rima.
Gejala OSA yang bisa dirasakan penderita antara lain sering mengantuk di siang hari, bangun tidur merasa lesu bahkan sakit kepala di pagi hari, gangguan emosi misalnya mudah marah, berat badan meningkat, sering terbangun malam hari untuk kencing dan insomnia.
Penegakan diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan polisomnografi di sleep clinic. "Fasilitas tersebut memang masih terbatas, di Jakarta saja baru ada tiga RS yang memiliki layanan sleep clinic," ujar Rima.
Adapun terapinya, lanjut Rina, dilakukan bergantung penyebab dan tingkat keparahan OSA. Terapi konservatif dilakukan dengan penurunan berat badan, menghindari minum alkohol, tidur miring, penggunaan alat bantu oral (semacam penyangga rahang), dan pembedahan untuk mengangkat amandel atau membenahi kelainan bentuk rahang.
Terapi-terapi tersebut, lanjut Rima, ditujukan hanya untuk kasus-kasus OSA derajat ringan. Adapun untuk OSA berat, terapi dilakukan dengan pemakaian alat continuous positive airway pressure (CPAP) sepanjang tidur. CPAP merupakan alat yang memberi tekanan udara secara kontinu sehingga memungkinkan jalan napas penderita tetap terbuka.
Pada kesempatan sama, General Manager Philips Healthcare Indonesia Teguh Purwanto menyosialisasikan keberadaan laman www.areyousnoring.com. "Di situ tersedia sejumlah pertanyaan yang harus dijawab untuk menilai risiko OSA," jelas teguh. (H-1)
eni@mediaindonesia.com