Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan, terjadi peningkatan prevalensi kejadian stroke dari tahun 2007 sebesar 8,3 per 1.000 orang menjadi 12,1 per 1.000 orang di tahun 2013. Wilayah terbanyak berada di Aceh dan Sulawesi Selatan. Dari berbagai jenis stroke, 85 persen yang terjadi adalah stroke iskemik (Stroke yang terjadi karena sumbatan pembuluh darah).
Penyakit stroke merupakan suatu tingkat kegawatdaruratan medis sehingga harus ditangani secara sigap dan cepat. Secara sederhana, masyarakat dapat mengenali gejala stroke dengan metode SeGeRa yaitu senyum, senyumnya akan menjadi "aneh" dan wajahnya (terutama bagian bibir) sedikit "miring". Ketika diminta mengangkat tangan ke atas, tangan pasien tidak bisa diangkat secara simetris dan bersamaan. Saat berbicara kalimat sederhana, kalimat yang keluar terasa "pelo", kata dokter spesialis saraf RS Siloam Kebon Jeruk, dr. Frandy Susatia, Sp.S. dalam seminar kesehatan ETHICA Industri farmasi, Selasa (20/5) lalu di Jakarta. Penyakit stroke dapat dicegah dengan melakukan pencegahan primer pada faktor risiko dan pencegahan sekunder pada penderita stroke. "Modifikasi faktor risiko stroke melalui perubahan pola hidup yang lebih sehat dapat mencegah terjadinya stroke," kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan RI Prof. Dr dr. Agus Purwadianto, DFM., SH, M.Si.Sp.F(K). Selain itu, beberapa fakor risiko yang dapat menjadi pemicu serangan stroke juga harus diketahui antara lain darah tinggi, diabetes, obesitas, merokok, kelainan bernafas saat tidur, penggunaan kontraseptif oral, penyalahgunaan alkohol, penyalahgunaan obat, kolesterol tinggi dan aktivitas fisik yang rendah.
Hasto