Wajah AM Hendropriyono nampak segar saat ditemui di rumahnya di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (8/4) malam. Sepulang kondangan, sekitar pukul 21.00 WIB, ia langsung makan dengan sepuluh tusuk sate domba. Meski sudah menginjak 73 tahun, jenderal bintang empat ini tak berpantang makan apa pun. " Semua saya makan. Ada Terawan kok, hehehe," ujarnya tergelak.
Hendro agaknya yakin, keberadaan dokter Terawan yang juga Kepala RSPAD akan membantu jika ia kena dampak dari macam-macam. Keyakinan Hendro bukan tanpa alasan. Ketika pertama kali melihat metode pengobatan Terawan, Hendro langsung takjub, ia bercerita, bagaimana seorang mantan petinggi negara yang sudah digotong-gotong, langsung segar tertawa-tawa.
Dikenalkan Moerdiono
Hendro berkisah. Sekitar 2012, ia ditelepon almarhum Moerdiono, mantan menteri sekretaris negara era Orde Baru. Saat itu Moerdiono menghubunginya, karena panik ada seniornya jatuh di kamar mandi. Sementara istri sahabatnya itu sedang ke pasar. Sebelumnya, sang mantan pejabat tinggi yang sedang ngobrol dengan Moerdiono sempat pamit ke belakang.
"Tapi kok lama. Pak Moer akhirnya nyusul. Karena dipanggil tidak ada jawaban, Hendro masuk kamar mandi dan mendapati mantan pejabat tinggi negara itu sedang tergeletak dalam kondisi koma,"kata Hendro.
Moerdiono langsung dibawa ke RSPAD, tempat dokter Terawan bekerja. Hendro pun tak lupa menyusul. Namun sampai RSPAD, pasien yang diantar sudah sembuh. Rupanya ia baru saja ditreatment Digital Substraction Angiography (DSA) selama 45 menit oleh dokter Terawan yang masih berpangkat letnan kolonel. Satu angkatan dengan menantunya, Andhika, yang kini jenderal bintang tiga.
Berselang tak lama, sekitar tahun 2013, adiknya sendiri yang mengalami gejala stroke. Kala itu adiknya sedang bermain bersama cucunya. Lantaran tiba-tiba jatuh, ia dibawa ke RS Pondok Indah, Jakarta. Namun Hednro teringat Terawan, ia akhirnya meminta adiknya pindah ke RSPAD. Begitu ditreatment DSA selama 45 menit badanya langsung segar. "Kita bertangisan saking bahagianya," kata Hendro.
Pengalaman tak terlupakan justru menimpa Hendro pada tahun 2013. Saat itu ia sedang di kantor. Tiba-tiba bumi terlihat goyang. Ia mengira gempa, tapi melihat lampu kok tidak bergoyang. Hendro minta stafnya buru-buru menbawanya ke RSPAD. Jalannya sudah dipapah. "Begitu di RSPAD langsung di-DSA. Saya sadar tapi pusing. Ada yang bilang vertigo tapi saya enggak pernah vertigo," ujar Hendro.
Setelah Terawan datang, prosedur treatment dilakukan. Selang dimasukkan ke kaki kanannya. Sebelumya dibius lokal. Lantas dari monitor bisa dilihat pergerakan cairan heparin. Cairan itu kemudian berhenti di otak. Kata dokter Terawan di situlah terjadi sumbatan. Kemudian sumbatan itu dihantam cairan heparin. Dari luar ruangan lewat kaca, semua keluarga Hendro menyaksikan. "Dia sengaja begitu. Karena ini temuan dia jadi seluruh keluarga harus melihat," kata Hendro.
Begitu jebol, seluruh darah naik ke atas dan menyebar ke seluruh tubuh. Hawa dingin langsung menyergap. Berselang tak lama, Hendro merasa tubuhnya segar. Keluarga di luar langsung bersorak. Istri, anak, dan cucunya bertepuk tangan. Menariknya, saat mengerjakan. Terawan memasang ear phone di telinganya sambil bernyanyi.
\
"Saya sempat tanya itu apa? Dia jawab ini lagi ngilangin stres. Tapi kok nyanyi sepotong-sepotong," kata Hendro sambil tertawa.
Radiologi
Menurut Hendro, persoalannya Terawan adalah dokter radiologi. Biasanya motret baru dikasih ke dokter syaraf yang segera melakukan tindakan. Rupanya begitu lihat sumbatan Terawan langsung intervensi. Makanya disiplin ilmu dia, radiologi intervensi. Selain kateter (memasukkan selang lewat pangkal paha), tidak ada treatment lain. Hanya dianjurkan banyak air minum. Makanan juga tidak ada pantangan.
Setelah menjalani DSA pertama, berikutnya Hendro hanya minta bantuan pembersihan karena merasa makannya sudah ngawur. Hendro melakukannya tahun 2015. Bobot badannya sudah 81 kilogram. Ia takut dan minta DSA lagi. Awalnya Terawan bilang kalau sehat sebetulnya tak perlu. Tapi Hendro takut ada clot (gumpalan) dalam pembuluh darahnya. Ternyata lancar semua. Sebagai tentara, Hendro mengaku tidak dipungut bayaran. Sedangkan orang umum bisa pakai BPJS.
Hendro bercerita, gubernur NTT juga pernah stroke. Lewat Gorries Mere, pak gubernur minta tolong Hendro. Karena kalau prosedur formal bisa antre selama tiga bulan. Ini lantaran dalam satu hari Terawan bisa menangani 20 orang. Sebelumnya Awang Faruk, Gubernur Kalimantan Timur yang minta tolong. "Karena saya teman dekat ya dicepetin, hehe," kata Hendro.
Dari 20 pasien cuci otak tiap hari yang datang dari berbagai strata ekonomi dan negara. Ada dari Turki, Spanyol, dan lain-lain. Menariknya selain tidak ada larangan makanan juga tidak ada resep apa-apa. Hingga kini, Hendro mengaku tidak percaya diet. Prinsipnya boleh makan asal sedikit.
Sekarang, tiap pagi Hendro joging dengan cucunya yang dokter. Juga berenang. Sebagai pasien, ia tidak peduli Terawan melanggar apa, yang penting ia bisa sembuh. Kalau tidak sembuh, kata Hendro, ia akan pergi ke dukun. Kalau punya uang ke Singapura atau Malaysia. Sebagai pasien Hendro ingin sembuh. Urusan organisasi adalah urusan profesi.
"Di sini, tugas organisasi adalah meningkatkan skill anggotanya. Misalkan dengan memperbanyak magang, seminar, dan lokakarya, ke negara yang jago stroke. Jangan ngurusin izin praktek. Ity mestinya urusan pemerintah," pungkas Hendro. Arif